Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia pengaturannya tersebar dibeberapa Undang-Undang seperti contohnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, namun pengaturanya belum begitu detail, begitu pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kita gunakan saat ini, belum terdapat indikasi apa saja yang dapat menjerat korporasi, prosedur penyidikan serta penuntutan yang ditujukan bagi korporasi. Maka dari itu untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang di tandatangani oleh Muhammad Hatta Ali pada tanggal 21 Desember 2016 dan diundangkan pada tanggal 29 Desember 2016.
Tujuan dibentuknya Perma Nomor 13 Tahun 2016 ini adalah (1) menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus. (2) mengisi kekosongan hukum khusunya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurus; dan (3) mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau Pengurus.
Di dalam Perma Nomor 13 Tahun 2016 ini mengatur mengenai dasar seorang hakim dalam menilai kesalahan korporasi. Dalam pasal 4 ayat 2 Perma Nomor 13 Tahun 2016 dijelaskan bahwa “Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain”:
- Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
- Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
- Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Kemudian dalam Perma ini juga diatur siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Di dalamnya dijelaskan bahwa pertanggungjawaban korporasi mencakup pula grup korporasi, dan korporasi dalam penggabungan, peleburan, pemisahan dan pembubaran korporasi. Korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana, tetapi aset milik korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan penegakan hukumnya dilaksanakan sesuai mekanisme sebagaimana diatur dalam undang-undang. Gugatan terhadap aset tersebut dapat diajukan terhadap mantan pengurus, ahliwaris atau pihak ketiga yang menguasai aset milik korporasi yang telah bubar tersebut. Kemudian didalam Perma ini juga mengatur mengenai tata cara pemeriksaan korporasi dan/atau pengurus, tata cara persidangan, jenis pemidanaan, putusan dan pelasanaan putusan.
Pasal 20 Perma No 13 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.”
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Misalnya dalam kasus Investasi Bodong, pada dasarnya korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. Pengajuan permohonan restitusi dapat diajukan sebelum atau setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan. Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris korban.
Berdasarkan Pasal 32 Perma No 13 Tahun 2016, Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi. Dengan demikian keadilan untuk korban investasi bodong seharusnya dapat diwujudkan dengan mekanisme restitusi yang sumber pembayarannya didapatkan dari hasil penyitaan aset korporasi.
Berdasarkan Pasal 25 Perma Nomor 13 Tahun 2016:
- Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan
- Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
- Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Korporasi dan manusia sama-sama merupakan subjek hukum namun yang membedakan keduanya adalah korporasi tidak dapat dikenakan pidana mati, kurungan atau penjara namun hanya dapat dikenakan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan tersebut sesuai dengan pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lain yang terdapat dalam undang-undang lain sebagai Lex specialis derogat legi generali yang artinya undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
Sebagai contoh pertanggungjawaban pidana oleh korporasi dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Berarti menggunakan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan bukan lagi menggunakan KUHP karena UU TPPU merupakan undang-undang yang bersifat khusus. Berarti pemidanaanya sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 yang isinya “Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.” Dan pasal 7 (1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
- Pengumuman putusan hakim;
- Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
- Pencabutan izin usaha;
- Pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
- Perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
- Pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
- Perma No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi
Recent Comments